Renungan Malam: Membaca hanya sekedar membaca
Hei pembaca Mediumku,
Mungkin sekitar satu minggu lebih sejak tulisan terakhirku membahas tentang Prancis dan semiotika Umberto Eco rilis. Kembali menulis membuatku merasa aneh. Walaupun jarang menulis lagi di sini, aku sebenarnya masih aktif mengoyangkan penaku di kertas karena beberapa kegiatan yang lalu membuatku jauh dari laptop dan gawai.
Saat ini, aku sedang berada di depan laptop dan mengenang kegiatan beberapa hari lalu di Rumah Perubahan. Aku pun sebenarnya bingung, rumah ini sebenarnya ada di mana. Alamatnya sih masuk provinsi Jawa Barat, namun lokasi ini diberi nama sebagai Jakarta Escape; ada cerita di balik ini sebenernya, hanya saja aku lupa hehe. kalo kalian capek dengan hingar-bingar kota Jakarta, main ke sini bisa jadi alternatif kok. Di Rumah Perubahan, aku belajar banyak banget dan merefleksikan diri lebih dalam lagi untuk meningkatkan soft skills. Mungkin lain waktu aku bakal bahas pengalaman ini di story berikutnya.
Hal yang ingin aku ceritakan sekarang adalah refleksi diri. Secara diakronis aku ingin melihat perkembangan diri yang ada padaku. Kalian tentu pernah melakukan hal yang sama untuk melihat perkembangan diri; udah sejauh mana sih diri kita melangkah? Apakah kita masih berada pada situasi yang sama atau udah berkembang pesat dari tahun ke tahun? Bagi kalian, lebih baik merasakan perkembangan yang signifikan atau sekedar mengalami perkembangan udah menjadi achievment? Itu balik lagi ke diri masing-masing ya. Sejauh mana kalian ingin menggali kemampuan diri.
Aku sekarang ini sejatinya berbeda dengan aku yang dulu. Obviously, entah kenapa aku buat kalimat retoris macam ini. Namun… itu benar adanya. Jika kalian menginginkan perubahan itu terjadi, paling tidak kalian udah merasakan perbedaannya saat ini.
Kala itu, jika aku boleh mengenang kembali, aku adalah pribadi yang senang menghabiskan waktu dengan bermain playstation 2 atau bermain game di laptop. Mungkin aku akan menjadi youtouber gaming jika kemarin udah ada aktivitas streaming. Kala itu, aku memang benar memiliki priviledge itu hingga SMA dan keadaan ini membuatku terlena. Akhirnya, aku tumbuh dengan kemampuan literasi berkecupukan; kalo baca lama dan ga suka malahan, nulispun juga sama. Susah banget buat memulai dan daya imajinasi terbatas.
Nah, memang sejarang itu aku baca buku, dulu. Padahal waktu SMP, sekolah mulai di siang hari, dan sampai di sekolah selalu diem di perpus buat baca cerita-cerita tentang penemuan, kayak Newton, Darwin, Einstein, Marie Curie, dst. Suka banget bacanya karena dibuat kayak komik. Nungguin jam pelajaran di mulai, 1 komik itu bisa selesai. Cuman, entah kenapa, kebiasaan ini ilang setelah naik ke kelas 8. Aku pun lupa waktu itu kenapa aku jadi malas membaca lagi. Puncaknya ketika SMA; sama sekali ga suka baca buku kecuali buku pelajaran karena wajib ehe. Besar di lingkungan yang kurang suka membaca dan menulis juga membuat aku terbata-bata jika berdiskusi.
Singkat cerita, menjadi bagian dari OSIS & Pramuka menghadirkan banyak kesempatan untuk ikut perkemahan atau kegiatan-kegiatan apapun yang mengharuskan kita buat menginap dan beraktivitas di luar sekolah. Di kegiatan-kegiatan itu, aku mulai bertemu dengan banyak siswa dari latar belakang sekolah yang bermacam-macam. Mereka sangat terampil dan kemampuan berbicaranya sangat andal. Aku pernah minder ketika harus berlomba debat dengan mereka karena kemampuan dan pengetahuan yang mereka miliki. Ini memang salahku yang kurang “memanjakan” diri dalam hal literasi. Seandainya aku bisa kembali, aku akan membaca buku lebih banyak dari hari ini.
Entah apa yang membuat aku seberuntung itu sejak SMA, kali ini aku diberi kesempatan untuk kuliah di UGM; sebuah kampus yang tidak aku kenal sejak SMA, namun kata orangtuaku, ini adalah salah satu kampus terbaik di Indonesia. Aku pikir, “yang bener aja aku bisa masuk di sini”. Apa yang bisa aku berikan ke kampus ini in return? Apakah aku layak masuk di kampus ini? Kalo aku lolos, emang aku bisa bertahan mengikuti pelajaran di sana?
Ada banyak hal yang aku tanyakan ketika diarahkan ke kampus ini hingga pada akhirnya pengumuman SNMPTN 2015, tertulis di laman pendaftaran bahwa aku LOLOS. Rasanya seneng ga karuan bisa dapet kampus ini. Sebelumnya, aku sempet bingung dan minder karena ada beberapa temen yang udah dapet kampus karena lomba LKTI dan memang udah mengikuti tes tulis hingga mereka lolos. Sempet khawatir kalo aku ga lolos SNMPTN, apa kata orang-orang. Bagiku, ga lolos SNMPTN udah jadi mimpi buruk karena aku merasa kurang PD dengan tes tulis, seperti: SBMPTN atau UTUL. Kalian pernah ga sih berpikir, “entah kenapa kalo tes suka gagal tetapi kalo diberi kesempatan buat eksekusi, kita bisa kok bersaing.”
Mulai dari sini deh, temen-temen sekelas dateng dari berbagai latar belakang dan bekel pengetahuan yang mereka bawa dari kebiasaan semasa SMA. Ada yang berbekal fan One Direction dan Taylor Swift jadi lancar bahasa Inggris; suka sama EXO sampe ngikutin daily activities mereka, jadi bisa hangeul; suka baca novel jadi punya daya imajiner yang tinggi banget. Bahasa-bahasa yang mereka pake ketika menulis juga lebih variatif. Intinya, orang-orang ini udah punya keterampilan sendiri-sendiri dari minat atau kebiasaan yang mereka tekuni sebelum masuk universitas.
Tugas-tugas yang dikasih sama dosen saat itu juga banyak membaca, mulai dari novel hingga sejarah Prancis. Apapun deh. Banyak. Kalo aku bisa sebutin, rasanya banyak buku udah aku baca. Namun ini rasanya ga cukup ketika aku sebagai anak jurusan sastra, kita diwajibkan untuk memilih konsentrasi antara Sastra atau Linguistik. Dulu sempet berpikir kalo pilih sastra, berarti bakal banyak baca novel-novel kayak semester-semester awal. Akhirnya, aku lebih memilih Linguistik karena ga perlu baca bacaan yang bahasanya rumit banget. Eh sayangnya, linguistik juga ga semudah yang dipikirin.
Dulu itu mikirnya oposisi biner aja. Kalo sastra sulit, ya linguistik ada kemungkinan lebih mudah ehe. Ya.. gini produksi anak yang jarang baca jadi mikirnya hitam dan putih doang. Padahal ada substansi-substansi lain yang harus dipertimbangkan. Apalagi ini bakal jadi tujuan akhir kita ketika ingin “keluar ”dari kampus. Kalo salah pilih, waktu udah ga bisa mundur dan mengulang akan makan waktu lebih banyak lagi. Jadi, jangan diikuti ya cara ini. Kalo kalian merasa bertanggung jawab dengan masa depan dan karir akademik kalian, pilihlah konsentrasi di program studi dengan bijak biar ga kelabakan di akhir semester.
Masuk ke penulisan skripsi, aku jadi lebih tertarik baca buku teori, terutama buku makro linguistik karena aku kurang mampu di bagian mikro linguistik. Nah, kalo kalian sadar dan ngikutin konten linguistik aku di youtube, kalian pasti sadar kalo aku hampir ga pernah bahas mikro linguistik hehehe. Karena ya itu… sulit. Apalagi fonetik dan fonologi. It’s a total disaster. Hanya saja, kalian tetep harus punya basic knowledge tentang apa itu mikro linguistik kalo kalian tertarik dengan makronya. Penting juga soalnya buat jelasin fenomena kebahasaan pelaku komunikasi.
Sampai di sini, aku bener-bener jarang banget baca novel. Aku juga merasa sulit untuk membayangkan ketika membaca novel-novel. Ketika aku mula pendidikan magister (S2), aku mencoba kembali membaca novel-novel perancis; mencoba membangunkan kembali kebiasaan ketika menjadi mahasiswa S1. Awal-awal aku selalu mencoba bertahan walaupun aku tidak mengerti bagaiman alur cerita yang aku baca. Makin lama membaca, aku menjadi sekedar membaca. Ya, gaada yang masuk. Cerita hanya sebatas cerita yang gabisa aku pahami bahwa bayangkan. Tau ga? Analoginya kayak kamu gabisa merasakan kasih sayang dari orang lain. Hampa banget ketika baca buku.
Akhirnya, buku-buku yang aku baca cuma buku tentang analisis linguistik untuk keperluan jurnal dan penelitian. Gitu aja terus. Jadi daya imajinasiku kurang, bahkan kurang ekspresif ketika beraktivitas. Ketika ketemua dengan temen-temen yang rajin baca, mereka selalu ada hal yang dibicarakan, kayak ngalir gitu kalo ngobrol.
Nah setelah itu, mulai deh aktif lagi baca ketika aku ke Rumah Perubahan. ada kebiasaan baik yang selalu ditanamkan di sini, salah satunya ya membaca tadi. Sebelum berangkat, aku membaca buku yang berjudul Self Driving karya Prof. Rhenal Kasali. Bukunya membahas tentang pengenalan diri lebih dalam; apakah kalian bermental Driver atau Passenger? Baca buku ini supaya tau jawabannya. Setelah membaca itu, sekarang aku lanjut dengan membaca buku yang berjudul Kemolekan Landak, sebuah novel Prancis karya Muriel Barbery (Judul asli: L’Élégance du Herisson) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Jean Couteau dan Leddy Lesmana.
Saranku sih, mulailah membaca supaya kalian bisa berkembang lebih dinamis lagi. Seperti pepatah mengatakan, “membaca adalah kekuatan” dan kalian akan bisa memosisikan diri dengan lingkungan kalian. Begitu juga yang dikatakan oleh René Descartes, tentang je pense donc je suis ‘aku berpikir maka aku ada.’ Hal yang membuktikan bahwa kalian exist adalah diri kalian sendiri. Buatlah diri kalian dianggap oleh orang-orang atau lingkungan sekitar supaya kalian menjadi lebih percaya diri ketika menjadi makhluk sosial.
See you di tulisan berikutnya !